PERTEMUAN SINGKAT ITU
Kala itu, semburat warna fajar telah menghiasi langit Jogja.
Aku yang pagi itu masih terlelap harus segera menuju kamar mandi setelah
mendengar berisiknya ayam jago berkokok. Pagi itu harusnya aku berencana untuk
tidak masuk kuliah dan membiarkan diriku terlelap hingga matahari berada di
atas kepala, namun aku teringat akan pertemuan singkatku dengan kakak kelas
kemarin yang aku temui di sebuah restoran yang berada di daerah Sleman.
Waktu itu aku tak sengaja menyenggol tas punggunya yang ia
letakkan di samping kursi makannya, mungkin kursi tersebut tidak muat untuk
menampung dirinya sekaligus tas punggungnya yang memang terlihat sangat besar
karena terisi penuh. Aku berjalan tergesa-gesa setelah mengambil pesanan
makanan yang dipesan orang tuaku, tak melihat arah jalan akupun berjalan dengan
cepatnya. Tiba-tiba kakiku kesakitan, karena ada sesuatu yang berat menghantam
kakiku.
Saat itu aku sangat kesal, padahal hari itu aku sudah
bermaksud untuk menghabiskan liburan bersama teman-teman untuk sekedar
jalan-jalan ke pantai, sehingga aku harus berjalan cepat untuk segera sampai
dirumah meletakkan pesanan orang tuaku dan segera pergi. Setelah aku lihat,
ternyata tas yang aku tendang tadi, dan sekarang tas tersebut tergeletak dengan
sembarangan dilantai dan isinya berhamburan kemana-mana.
Aku memaki orang yang mempunyai tas tersebut. Tetapi orang
itu hanya mengerutkan keningnya. Aku semakin sebal.
“Woii.. gimana sih? Naruh tas sembarangan. Kena kaki aku
nih.” Dengan kesal aku memaki orang tersebut.
“Mbak sendiri jalan tidak lihat arah jalannya. Justru Mbak
yang nendang tas saya.” Kata orang tersebut dengan wajah datar.
“Hmm.. yaudah deh Mas. Aku minta maaf, buru-buru nih
soalnya.” Aku pun akhirnya mengalah. Toh, aku juga yang salah. Aku berjalan
tergesa-gesa dan tidak melihat jalan sehingga kakiku menendang tasnya.
“Iya Mbak.. tidak apa-apa. Maklum orang lagi buru-buru
biasanya suka tidak lihat jalan.” Kata orang itu pengertian.
“Biar saya saja yang beresin Mas. Saya yang salah jadi saya
yang harusnya tanggung jawab.” Kataku dengan rasa bersalah.
Aku jadi lupa dengan janji bersama teman-temanku. Bagaiman
tidak, dihadapanku kini berdiri seorang pria yang keren dan tampan. Membuatku
ingin berlama-lama memandang wajahnya. Ditambah cara bicaranya yang sopan
semakin membuatku terpana. Dadaku semakin sesak saat pandangan kami bertemu.
Mata yang indah!
“Mbak, kenapa jadinya bengong begitu?” Tanyanya heran.
“Oh iya Mas, maaf. Ini mau saya beresin barang-barangnya.”
Kataku setelah sadar dari lamunanku. Aku malu karena ketahuan memandangi
wajahnya saat itu.
“Mbak orang mana sih Mbak?”
“Aku orang Jogja asli Mas, lah Mas sendiri?” Tanyaku
penasaran. Rasa ingin tahuku mengalahkan segalanya.
“Saya orang asli sini Mbak, tapi saya tinggal di Bekasi”
“Oo jadi seperti itu, lah terus Mas ada tujuan apa kesini?”
Semakin lama aku semakin penasaran.
“Lebih baik kita duduk dulu deh Mbak. Masak ngobrol sambil
berdiri. Pamali deh.”
Kemudian aku menyeret kursi yang berada didepannya. Kami
berdua memperkenalkan diri masing-masing dan mengobrol tentang banyak hal.
“Nama saya Krist Mbak, saya sebenarnya orang sini tetapi saya
tinggal dengan nenek saya di Bekasi. Saya kesini mau jenguk orang tua saya.
Sudah dua tahun saya belum menemui mereka.” Katanya panjang lebar.
“Oo Mas Krist to. Kalau namaku Frestya. Aku masih kuliah.
Aku kesini tadi ngambil pesanan makanan orang tuaku. Bapak sama ibuku sudah
jadi langganan di resto ini, yang punya masih saudara kami.”
“Oo begitu. Makanannya enak-enak ya disini. Saya kelaparan
tadi, jadi saya putuskan untuk makan di resto ini. Ternyata saya tidak salah
pilih.”
“Hehehe Mas Krist ngomong begitu karena saya masih
saudaranya yang punya resto ini kan?
Kalau bukan ya nggak mungkin ngomong seperti itu.” Candaku agar suasana tidak
beku.
“Lo tapi beneran enak kok Tya. Oo ya Tya kamu kuliah
dimana?”
“Aku kuliah di UGM Mas. Semester 6 nih, bentar lagi mau
nyusun skripsi. Jurusan Ilmu Ekonomi.” Cerocosku.
“Lo kuliah di UGM? Dulu saya juga kuliah di UGM jurusan
Manajemen. Sudah lulus 3 tahun yang lalu. Saya di Bekasi punya usaha Denim.”
“Wah jadi Mas Krist kakak kelas
aku dong. Mas Krist Pengusaha nih? Wah keren. Bisa tanya-tanya nih. Sebenarnya
susah nggak sih Mas jadi pengusaha itu?”
“Ya ada susahnya ada enaknya juga
Tya. Kalau pertama-pertama buka pasti banyak kendalanya, belum ada yang kenal
lah, belum ada yang percaya sama produk kita, banyak yang mencaci juga. Dulu
malah saya pernah menyewa gerai yang tempatnya tidak strategis, jadi pelanggan
susah untuk mencari gerai saya. Saya harus membagi-bagikan brosur hampir
disemua kota besar di Jawa Barat seperti Depok dan Bogor, bahkan juga sampai
Jakarta. Semua itu harus dijalani dengan sabar dan telaten. “
“Terus Mas mulai usahanya dari
kapan?
“Sudah dua setengah tahun lalu. Saya
sudah punya dua gerai yang berdiri di Bekasi.”
“Wow keren, terus bahan-bahan
denimnya itu import apa asli dari sini sendiri?”
“Yah pastinya import lah Tya. Kami
mengusahakan supaya bahan-bahan yang kami gunakan berkualitas baik. Sekarang
produksi kami sudah kami tambah menjadi Denim dan Tas”
“Oo seperti itu. Kapan-kapan mau
deh mampir ke gerainya Mas Krist kalau main ke Bekasi. Jadi penasaran.”
“Wah tentu saja boleh dengan
senang hati. Terus kamu rencananya setelah kuliah bagaimana?” Tanyanya
kemudian.
“Kalau aku sepertinya mau kerja di
tempatnya Bapak deh Mas, gantikan Bapak buat nerusin usaha Travelnya. Tapi aku
sering ogah-ogahan masuk kuliah Mas, sering bolos juga, mana mungkin aku bisa
gantikan Bapak nerusin usahanya?”
“Kamu tidak boleh seperti itu Tya.
Orang tua kamu sudah membiayai kamu mahal-mahal supaya kamu bisa nerusin
pendidikan kamu. Kamu kan memegang amanat orang tua. Kamu tidak boleh malas
seperti itu. Mana bisa berjalan usaha yang sudah Bapak kamu rintis kalau kamu
yang memimpin pemalas seperti itu. Kuncinya itu kita tidak boleh malas dalam
mengerjakan suatu pekerjaan, kalau kita sudah dilanda rasa malas pasti semua
akan berantakan.”
Katanya panjang lebar dengan nada
menasehati. Sekali lagi aku terpana kepadanya. Dia begitu dewasa dan tentunya
adalah calon orang yang sukses, bahkan mungkin sekarang bisa dibilang dia sudah
sukses. Sudah tampan, pengusaha pula.
“Tu kan lagi-lagi Tya bengong.”
“Ooo iya Mas, maaf ya. Aku senang
bisa ketemu Mas Krist hari ini, cerita dan nasehat kamu sangat menginspirasi
aku. Terima kasih ya Mas Krist.”
“Sama-sama Tya. Saya juga senang
bertemu kamu. Berjanjilah Tya, mulai sekarang hilangkan semua rasa malas yang
ada di diri kamu. Sesungguhnya hal itu yang akan membuat kamu gagal di masa
depan.”
“Iya Mas Krist. Tya janji nggak
akan malas lagi. Tya akan selalu berusaha untuk membahagiakan orang tua Tya.”
Kataku haru.
“Baiklah Tya. Ditempat ini kita
bertemu dan ditempat ini pula kita berpisah. Berjanjilah untuk menemui saya
empat tahun lagi disini, ditempat ini setelah kamu sukses nanti.” Katanya
dengan ekspresi yang sulit ditebak, entah sedih atau lainnya aku tidak tahu.
Itulah kata-kata terakhirnya yang
terngiang di kepalaku dan ekspresi wajah itu. Seseorang yang sangat ambisius
dan sekaligus menakjubkan. Semakin membuatku jatuh hati kepadanya. Kemudian suara
lantang milik ibuku membuatku sadar dari lamunan.
“Tya, cepat sedikit ganti bajunya.
Setelah itu makan. Kami sudah menunggu kamu di meja makan.”
“Iya ibu. Ini Tya juga sudah
cepat-cepat.”
Aku berjanji akan menemuinya di
restoran tempat kita bertemu empat tahun kemudian setelah aku sukses nanti. Aku
tak akan mengecewakannya. Akan kubuktikan kepadanya empat tahun kemudian aku
sudah menjadi orang yang sukses berkat kerja kerasku sendiri.
Aku berangkat ke kampus dengan
riang, seriang hatiku saat ini!
By:
Els
Tidak ada komentar:
Posting Komentar