Kamis, 11 September 2014

cerpen bertema kewirausahaan

PERTEMUAN SINGKAT ITU

Kala itu, semburat warna fajar telah menghiasi langit Jogja. Aku yang pagi itu masih terlelap harus segera menuju kamar mandi setelah mendengar berisiknya ayam jago berkokok. Pagi itu harusnya aku berencana untuk tidak masuk kuliah dan membiarkan diriku terlelap hingga matahari berada di atas kepala, namun aku teringat akan pertemuan singkatku dengan kakak kelas kemarin yang aku temui di sebuah restoran yang berada di daerah Sleman.
Waktu itu aku tak sengaja menyenggol tas punggunya yang ia letakkan di samping kursi makannya, mungkin kursi tersebut tidak muat untuk menampung dirinya sekaligus tas punggungnya yang memang terlihat sangat besar karena terisi penuh. Aku berjalan tergesa-gesa setelah mengambil pesanan makanan yang dipesan orang tuaku, tak melihat arah jalan akupun berjalan dengan cepatnya. Tiba-tiba kakiku kesakitan, karena ada sesuatu yang berat menghantam kakiku.
Saat itu aku sangat kesal, padahal hari itu aku sudah bermaksud untuk menghabiskan liburan bersama teman-teman untuk sekedar jalan-jalan ke pantai, sehingga aku harus berjalan cepat untuk segera sampai dirumah meletakkan pesanan orang tuaku dan segera pergi. Setelah aku lihat, ternyata tas yang aku tendang tadi, dan sekarang tas tersebut tergeletak dengan sembarangan dilantai dan isinya berhamburan kemana-mana.
Aku memaki orang yang mempunyai tas tersebut. Tetapi orang itu hanya mengerutkan keningnya. Aku semakin sebal.
“Woii.. gimana sih? Naruh tas sembarangan. Kena kaki aku nih.” Dengan kesal aku memaki orang tersebut.
“Mbak sendiri jalan tidak lihat arah jalannya. Justru Mbak yang nendang tas saya.” Kata orang tersebut dengan wajah datar.
“Hmm.. yaudah deh Mas. Aku minta maaf, buru-buru nih soalnya.” Aku pun akhirnya mengalah. Toh, aku juga yang salah. Aku berjalan tergesa-gesa dan tidak melihat jalan sehingga kakiku menendang tasnya.
“Iya Mbak.. tidak apa-apa. Maklum orang lagi buru-buru biasanya suka tidak lihat jalan.” Kata orang itu pengertian.
“Biar saya saja yang beresin Mas. Saya yang salah jadi saya yang harusnya tanggung jawab.” Kataku dengan rasa bersalah.
Aku jadi lupa dengan janji bersama teman-temanku. Bagaiman tidak, dihadapanku kini berdiri seorang pria yang keren dan tampan. Membuatku ingin berlama-lama memandang wajahnya. Ditambah cara bicaranya yang sopan semakin membuatku terpana. Dadaku semakin sesak saat pandangan kami bertemu. Mata yang indah!
“Mbak, kenapa jadinya bengong begitu?” Tanyanya heran.
“Oh iya Mas, maaf. Ini mau saya beresin barang-barangnya.” Kataku setelah sadar dari lamunanku. Aku malu karena ketahuan memandangi wajahnya saat itu.
“Mbak orang mana sih Mbak?”
“Aku orang Jogja asli Mas, lah Mas sendiri?” Tanyaku penasaran. Rasa ingin tahuku mengalahkan segalanya.
“Saya orang asli sini Mbak, tapi saya tinggal di Bekasi”
“Oo jadi seperti itu, lah terus Mas ada tujuan apa kesini?” Semakin lama aku semakin penasaran.
“Lebih baik kita duduk dulu deh Mbak. Masak ngobrol sambil berdiri. Pamali deh.”
Kemudian aku menyeret kursi yang berada didepannya. Kami berdua memperkenalkan diri masing-masing dan mengobrol tentang banyak hal.
“Nama saya Krist Mbak, saya sebenarnya orang sini tetapi saya tinggal dengan nenek saya di Bekasi. Saya kesini mau jenguk orang tua saya. Sudah dua tahun saya belum menemui mereka.” Katanya panjang lebar.
“Oo Mas Krist to. Kalau namaku Frestya. Aku masih kuliah. Aku kesini tadi ngambil pesanan makanan orang tuaku. Bapak sama ibuku sudah jadi langganan di resto ini, yang punya masih saudara kami.”
“Oo begitu. Makanannya enak-enak ya disini. Saya kelaparan tadi, jadi saya putuskan untuk makan di resto ini. Ternyata saya tidak salah pilih.”
“Hehehe Mas Krist ngomong begitu karena saya masih saudaranya yang punya resto ini  kan? Kalau bukan ya nggak mungkin ngomong seperti itu.” Candaku agar suasana tidak beku.
“Lo tapi beneran enak kok Tya. Oo ya Tya kamu kuliah dimana?”
“Aku kuliah di UGM Mas. Semester 6 nih, bentar lagi mau nyusun skripsi. Jurusan Ilmu Ekonomi.” Cerocosku.
“Lo kuliah di UGM? Dulu saya juga kuliah di UGM jurusan Manajemen. Sudah lulus 3 tahun yang lalu. Saya di Bekasi punya usaha Denim.”
“Wah jadi Mas Krist kakak kelas aku dong. Mas Krist Pengusaha nih? Wah keren. Bisa tanya-tanya nih. Sebenarnya susah nggak sih Mas jadi pengusaha itu?”
“Ya ada susahnya ada enaknya juga Tya. Kalau pertama-pertama buka pasti banyak kendalanya, belum ada yang kenal lah, belum ada yang percaya sama produk kita, banyak yang mencaci juga. Dulu malah saya pernah menyewa gerai yang tempatnya tidak strategis, jadi pelanggan susah untuk mencari gerai saya. Saya harus membagi-bagikan brosur hampir disemua kota besar di Jawa Barat seperti Depok dan Bogor, bahkan juga sampai Jakarta. Semua itu harus dijalani dengan sabar dan telaten. “
“Terus Mas mulai usahanya dari kapan?
“Sudah dua setengah tahun lalu. Saya sudah punya dua gerai yang berdiri di Bekasi.”
“Wow keren, terus bahan-bahan denimnya itu import apa asli dari sini sendiri?”
“Yah pastinya import lah Tya. Kami mengusahakan supaya bahan-bahan yang kami gunakan berkualitas baik. Sekarang produksi kami sudah kami tambah menjadi Denim dan Tas”
“Oo seperti itu. Kapan-kapan mau deh mampir ke gerainya Mas Krist kalau main ke Bekasi. Jadi penasaran.”
“Wah tentu saja boleh dengan senang hati. Terus kamu rencananya setelah kuliah bagaimana?” Tanyanya kemudian.
“Kalau aku sepertinya mau kerja di tempatnya Bapak deh Mas, gantikan Bapak buat nerusin usaha Travelnya. Tapi aku sering ogah-ogahan masuk kuliah Mas, sering bolos juga, mana mungkin aku bisa gantikan Bapak nerusin usahanya?”
“Kamu tidak boleh seperti itu Tya. Orang tua kamu sudah membiayai kamu mahal-mahal supaya kamu bisa nerusin pendidikan kamu. Kamu kan memegang amanat orang tua. Kamu tidak boleh malas seperti itu. Mana bisa berjalan usaha yang sudah Bapak kamu rintis kalau kamu yang memimpin pemalas seperti itu. Kuncinya itu kita tidak boleh malas dalam mengerjakan suatu pekerjaan, kalau kita sudah dilanda rasa malas pasti semua akan berantakan.”
Katanya panjang lebar dengan nada menasehati. Sekali lagi aku terpana kepadanya. Dia begitu dewasa dan tentunya adalah calon orang yang sukses, bahkan mungkin sekarang bisa dibilang dia sudah sukses. Sudah tampan, pengusaha pula.
“Tu kan lagi-lagi Tya bengong.”
“Ooo iya Mas, maaf ya. Aku senang bisa ketemu Mas Krist hari ini, cerita dan nasehat kamu sangat menginspirasi aku. Terima kasih ya Mas Krist.”
“Sama-sama Tya. Saya juga senang bertemu kamu. Berjanjilah Tya, mulai sekarang hilangkan semua rasa malas yang ada di diri kamu. Sesungguhnya hal itu yang akan membuat kamu gagal di masa depan.”
“Iya Mas Krist. Tya janji nggak akan malas lagi. Tya akan selalu berusaha untuk membahagiakan orang tua Tya.” Kataku haru.
“Baiklah Tya. Ditempat ini kita bertemu dan ditempat ini pula kita berpisah. Berjanjilah untuk menemui saya empat tahun lagi disini, ditempat ini setelah kamu sukses nanti.” Katanya dengan ekspresi yang sulit ditebak, entah sedih atau lainnya aku tidak tahu.
Itulah kata-kata terakhirnya yang terngiang di kepalaku dan ekspresi wajah itu. Seseorang yang sangat ambisius dan sekaligus menakjubkan. Semakin membuatku jatuh hati kepadanya. Kemudian suara lantang milik ibuku membuatku sadar dari lamunan.
“Tya, cepat sedikit ganti bajunya. Setelah itu makan. Kami sudah menunggu kamu di meja makan.”
“Iya ibu. Ini Tya juga sudah cepat-cepat.”
Aku berjanji akan menemuinya di restoran tempat kita bertemu empat tahun kemudian setelah aku sukses nanti. Aku tak akan mengecewakannya. Akan kubuktikan kepadanya empat tahun kemudian aku sudah menjadi orang yang sukses berkat kerja kerasku sendiri.
Aku berangkat ke kampus dengan riang, seriang hatiku saat ini!







By: Els

Tidak ada komentar:

Posting Komentar